Management Program: Sistem yang Memperparah Pendidikan Kita

Hallo, bertegur sapa dulu sejenak dengan pengikut setia blog notaslimboy.com. Mohon maaf jarang sekali saya – Notaslimboy – update di sini. Untung ada beberapa kontributor yang setia mengisi kolom di blog ini. Saya sebenarnya tetap aktif berkontribusi dalam bentuk pemikiran – walaupun pemikiran gak penting – dalam bentuk video. Silakan click di sini untuk subscribe kanal youtube saya.

Okay to the point.

Apa itu Management Program yang saya maksud? Ini adalah program perekrutan level middle management untuk kemudian diproyeksikan menjadi pimpinan perusahaan di waktu ke depan. Sistem pendidikan kita sudah cukup parah, tidak usah dibahas di sini, dan sistem yang dibuat perusahaan-peruasahaan besar ini memperparah keadaannya. Melalui sistem ini perusahaan merekrut lulusan-lulusan terbaik dari banyak universitas terkemuka, lintas disiplin, yang penting memenuhi standard IPK tertentu. Artinya perusahaan tidak membutuhkan kualifikasi ilmu dari fresh graduated ini, yang penting IPK tinggi, berarti mereka cukup cerdas. Ilmu tidak penting, karena program ini akan memberikan ilmu “cepat” untuk menjadi ahli di bidang tertentu. Kebanyakan dipraktikan oleh dunia perbankan, tapi tidak sedikit industri lain juga melakukan ini. Tak heran lulusan teknik dari ITB, UI, UGM bekerja di bank atau menjadi kepala cabang distribusi merk otomotif tertentu.

Ilmu mereka yang dipelajari di masa kuliah, soal fisika quantum, soal keseimbangan kimia, soal integral lipat lima, soal pendekatan numerik dan aljabar, dihapus dengan kursus kilat 6 sampai 12 bulan di management program. Mereka tiba-tiba menjadi pakar “perbankan” atau bahkan pakar jual beli mobil yang sangat pakar melobby credit analyst bagaimana supaya penjualan mobil di cabang mereka meningkat. Miris? Nggak tahu juga sih.

Siapa yang salah? Sepintar-pintarnya mereka, mereka adalah fresh graduated yang butuh dapat kerja cepat dan ingin segera berpenghasilan, membahagiakan orang tua, cepat nikah. Maka tidak ada pilihan. Saat mereka di level middle management atau lebih tinggi lagi, mungkin mereka sadar, tapi mungkin – atau bahkan hampir pasti – mereka sudah terjebak dalam comfort zone, yang sebenarnya nggak comfort-comfort amat. Hanya comfort dari sisi ekonomi mungkin, tapi aspek kehidupan apakah cuman ini? Mungkin manusia sekarang hanya menganggap kesuksesan hanya dari sisi ekonomi. Disertasi, wacana, hipotesa, dianggap hanya isapan jempol, tanpa menghasilkan real money. Padahal sekarang terbukti, bahwa real money di satu sisi, ternyata berdampak pada kerusakan di sisi lain yang jauh lebih besar, bahkan ditinjau dari sisi ekonomi. Penjualan otomotif, menghasilkan kemacetan dan pemborosan energi, polusi, kredit macet, dll. Itu baru satu sisi.

Siapa insinyur yang idealis? Dialah “Si Doel”, yang tidak mau kerja di bank, maunya kerja sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajari. Apakah dia anak ITB, UI, UGM, ITS? Bukan, dia anak Universitas Pancasila. Dan apakah dia masih ada? Dia itu tokoh fiktif, bahkan pemerannya sendiri sekarang sudah terjun ke dunia politik. 🙂

Siapa yang salah? Tidak usah ditunjuk, tapi yang jelas sistem ini salah. Mari kita perbaiki. Dimulai dari Dikti dan Dikbud 🙂

Saya sendiri, lulusan ITB, memang jadi pelawak. Tapi itu hanya sebagian kontribusi saya. Secara sadar saya membangun bisnis kecil supaya ilmu saya di ITB tidak terbuang percuma. Tidak usah diceritakan di sini, nanti jadi riya. Tapi boleh deh capture sedikit

Screen Shot 2016-04-30 at 9.28.13 PM